Standar Pendidikan Pejabat Publik Digugat, MK Dorong Perubahan Lewat Jalur Legislasi
- calendar_month 5 jam yang lalu
- visibility 7
- comment 0 komentar

Polemik mengenai standar pendidikan bagi pejabat publik kembali mencuat. Seorang warga bernama Hanter Oriko Siregar menggugat persyaratan pendidikan yang dinilai terlalu rendah bagi anggota DPR, DPRD, presiden, wakil presiden, hingga kepala daerah.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 154/PUU-XXIII/2025, Hanter berargumen bahwa pejabat publik setingkat itu seharusnya minimal berpendidikan sarjana (S1).
Hanter menyoroti sebuah ironi: seorang guru SD wajib bergelar sarjana, sementara pejabat tinggi negara yang bertanggung jawab atas kebijakan bangsa hanya perlu lulusan SMA.
Menurutnya, hal ini bisa berdampak pada kualitas kebijakan yang dihasilkan. Ia bahkan mengingatkan publik tentang kasus pejabat yang keliru membedakan hutan dengan kebun sawit atau asam sulfat dengan asam folat.
Menanggapi gugatan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa pasal yang digugat sudah pernah diputuskan dalam perkara sebelumnya. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Hanter menempuh jalur legislasi atau mengajukan usulan perubahan undang-undang ke DPR.
“Sampaikan usulan ke DPR yang sedang merevisi UU Pemilu. Itu akan lebih efektif,” ujar Enny, karena MK tidak bisa mengubah putusan yang sudah ada.
Gugatan ini menambah panjang perdebatan mengenai kualitas elite politik di Indonesia. Sebagian pihak berpendapat bahwa syarat pendidikan tinggi akan membatasi partisipasi publik.
Namun, ada juga yang meyakini bahwa standar pendidikan yang lebih tinggi penting untuk memastikan pejabat terpilih memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, tidak hanya bermodal popularitas.
Kini, nasib wacana ini berada di tangan MK dan pembuat undang-undang. Publik pun menantikan apakah standar pendidikan bagi elite politik Indonesia akan ditingkatkan atau tetap seperti saat ini.
- Penulis: Palembanglipp
Saat ini belum ada komentar